Skip to main content

Posts

Showing posts from 2015

Tanyaku Tentangmu

Lebih baik kau menyuapiku dengan kemarahanmu Dari pada aku menelan kebisuanmu Lebih baik kau menelanjangi ku dengan caci mu Dari pada aku melihat punggungmu yang menghadap wajahku Berhentilah seperti ini

Kediaman

Kediamanku menjelma menjadi suatu ketakutan Semakin lama aku diam Segala hal bertambah menjadi alasan yang tak dapat kulalui Adakah pintu lain kan terbuka bila aku mengunci pintu didepan? Adakah pintu belakang kan memberi jalan keluar? Atau jendela berterali yang tiba-tiba hancur kala tinju menghujam? Aku terus tersesat dalam omong kosong itu Pada nyatanya aku hanya berdiri ditempat yang sama Kediamanku menjelma menjadi suatu ketakutan Namun aku lebih takut untuk membuka langkah Karna seseorang terus menggenggam erat tangan

Syair Pujangga

Lantunan syair-syair elok mu di embun pagi Buatku terbuai lantas lemas terkulai Ya Pujangga... Yang menjejalkan kaki mengitari jagad khayal Lalu menari-nari dalam awan lamunan Kau merasuk di dada Menggejolakkan kembali jiwa dari tidur panjang Aduhai... Janganlah redup syair itu Lantunkanlah sepanjang waktu Buailah aku selalu Sungguh aku tak ingin beranjak dari peluk syairmu Tak peduli matahari meninggi Tak peduli bulan datang dan pergi lagi Ya Pujangga... Syairmu telah mengecup bibir

Inikah yang orang bilang itu cinta?

Kalian itu siapa sih? Mengapa membuat lengkap hidupku Mengapa membuat warna dihidupku Terkadang aku membenci kalian Karna tak sepaham, searah, setujuan Tapi tunggu jangan marah Karna aku takkan pernah benar-benar membenci kalian Mau seberapa pun kesalahan yang pernah dibuat entah itu aku atau kalian Aku tak pernah bisa benar-benar marah Entah itu perlu sebuah kata maaf atau tidak Bahkan aku merasa bodoh dan tolol

Kasih Yang Marah

Engkau pergi dengan amarah Selepas aku menerka dirimu bersalah Langit mulai redup Mengusir surya ikut pergi menyertai mu Menggelar hujan yang semakin lama menderau Gemuruh yang saling bersahutan menjadikan aku kacau Begitu kah rengat hati yang ingin kau sampaikan? Seketika tubuhku lemas lantas ambruk Aku bersalah telah membuatmu pergi Tak seharusnya begini Tak seharusnya aku menyakiti

Salam Untukmu

Ini akan menjadi kali terakhir aku menyapamu. Kawan, kau pasti tahu. Hari ini adalah hari kemenangan. Kemenangan di setiap rintih sakit langkah kita, Kemenangan bagi kita yang mampu bertahan meneguhkan diri, menggenggam kandil kandil asa. Kawan, biarkan aku mengajak mu bernonstalgia, Menyelusuri disetiap jengkal memoar dinding sekolah.

Kesepian Bayang Cermin

Memandang diri dalam cermin Aku merasa iba padamu Terperangkap sepanjang riwayat Memandang bila aku memandang Mengedip bila ku mengedip Kau hadir ketika aku membutuhkanmu Melihatmu membuatku melupakan waktu Kau pasti kesepian selama aku tak ada Ah.. bagaimana kalau kita bermain sejenak? Ayolah keluar dari cerminmu Atau.. Biarkan aku masuk Katakan padaku, dimana celah yang dapat ku lewati? Tak ada jawaban

Tak Terhormat

Sudah, sudah kuganti semunya agar sejajar dengan mereka Sudah, sudah kupenuhi mata mereka untuk memuaskan tiap mulut                  Tapi sebentar-sebentar mereka komat-kamit lagi sambil tertawa cekikikan dibelakangku Apa mau mereka? Serasa diri ini ingin hilang kendali dan kutampar mereka satu persatu Tapi mana bisa kulakukan ini? Aku terlalu terhormat untuk berbuat demikian Terhormat? Ah lama sekali aku tak mendengar kata itu Kapan terakhir kali aku jadi terhormat? Terhormat. Sudah berapa lama aku tak terhormat? Ya ya ya, aku ingat sekarang

Secuil Kertas Pengharapan

Secuil kertas pengharapan yang aku lindungi dari hujan Kini telah terbaca Ia mengerutkan dahi dan tersenyum masam Takut-takut   aku bersembuyi Namun ia merengkuh tangan ku Dan membawaku menyelinap hujan Entah apa dalam benaknya

Tanya Duniawi

Pernahkah tersirat dalam benakmu Untuk siapa kau bernyanyi? Pemenuhan diri pada-Nya Atau pemenuhan nafsu belaka? Seni yang kau anggap itu suci Kini tak ubahnya hasutan duniawi Seni adalah jalan menuju Dia, Al Quddus Tapi yang aku lihat kini engkau hanya berseni Melewatkan satu hari tanpa nyanyian surgawi

Naskah Hari Esok

Telah sunyi Telah sepi Jalanan kosong tak berpenghuni Pendar lampu semakin menampakkan cahayanya sendiri Mengalahkan sorot lampu kendaraan yang sedari tadi hilir mudik tiada henti Mereka yang lelah pulang Mereka yang tak sempat pulang bersandar dijalan Mereka yang tak punya tempat pulang meringkuk dipinggiran

Kemanakah Wajahmu

Sirna sudah wajahmu Wajahmu yang hadir digelak tawaku Wajahmu yang hadir di sendu tangis ku Wajahmu yang menggeluti amarahku Kemanakah itu? Malam yang memerangimu dan merenggutmu Membuat tanganku hampa merengkuh wajahmu Ohh, kemanakah itu? Siangku menjadi malam dan malam ku teramat gelap Dibalik jendela aku sendirian

Rupa Yang Hilang

Angin yang menghantarkan aku ke cakrawala Keriap cahaya membiaskan bayang Lalu kutangkap sesosok rupa yang hilang Sosok yang dicuri dari hayal Senja kala itu menyematkan cahaya dilubuk rasa Menggemingkan dunia yang seolah tak beranjak dari tempatnya www.jendelafarida.blogspot.com   Hanya ruh yang bertautan mengidung ke langit cinta

Jarum Benang

Seseorang berdiri didepan mereka Ia adalah jarum dan mereka benangnya Beribu tusuk akan ia hujamkan tuk memukul mundur lawan Beribu jahitan akan ia torehkan dimata lawan Beribu jelujur akan sulam tuk satukan warna kehormatan “Merdeka atau mati!” Bibirnya selalu berucap demkian Ditepi kain merah mereka datang menjemput nyawa

Lihatlah Tanganku Kotor!

 Lihatlah anakmu Beban yang kau jatuhkan semakin lama terasa semakin berat,   Ayah Tali yang kau ulurkan kini menjerat aku, Bu Berjalan aku tak kuasa menahan beban Berlari aku terikat Berulang kali aku jatuh tersungkur Aku berusaha bangkit namun aku tak mampu Hingga suatu ketika seseorang datang Ia mengangkat ku, membangkitkan ku Aku dijadikan anaknya Aku disayang, dimanja, dipakaikan gaun yang indah dan perhiasan mewah Namun, aku harus memandikan anjingnya

Selamat Datang ! :)

Hai! Selamat malam/pagi/sore/siang kamu. Seni dan Sastra adalah bagian dari hidup saya. Semenjak tergabung dalam drama di sekolah seni dan sastra merupakan target utama saya dalam belajar. Saya tak segan-segan tidur hingga larut malam dan mengendap-ngendap dalam membaca mapun membuat karya sastra. Dan puisi merupakan wujud kecintaan saya terhadap seni dan sastra. Dari sebuah kecintaan munculah dorongan untuk terus belajar dan memperdalam pengetahuan saya tentang seni juga sastra. Bagi saya tidak ada puisi maupun karya yang buruk. Semua karya adalah ide brilian.

Gila!

Cahaya telah direguk bulan Dan malam menebar bintang Aku mulai menutup rapat mulutku Aku telan kata demi kata yang menjadi ocehan harianku Khayalku kini berkelana mengukir cita dalam angan Namun semakin kuukir semakin aku takut Takut merugi dengan waktu Waktu   yang aku lalui menghantui disetiap deru nafasku Waktu yang telah membusuk pun ikut beradu

BOOM!

Mataku menangkap sejuta keindahan Di keterasingan dunia yang kupunya Di pulau yang tak kuketahui namanya Aku melihatmu Begitu terang lebih dari sekedar emas Tiada berbanding dari dirimu yang disana Keindahan mu menghancurkan aku Meluluh lantakkan tembok yang melingkar relung jiwa Dengan sentuhan magic  Dan sedikit mantra pesulap Kau memulainya, “abracadabra!”

Bulan Terkekeh

Di bawah temaram bulan yang merona menebar kesunyian malam Aku duduk disana, merengkuh segala yang ada tanpa arti yg kulihat Hembusan angin menerpa, dingin menusuk rusuk Dan luka yang semakin membengkak tak kunjung datang tambatan Ku sibukkan diri mengorek tanah yang tak kunjung berdasar Lalu aku jemu dibuatnya! Kutatap langit namun bulan terkekeh Seolah tau sebab nasib diriku Pamer pesona di Malam Karna ia satu-satu nya ratu disana.

Kurenggut habis seluruh syairmu

Bila aku mendengarmu Tiada hentinya aku menyanjungmu Syair yang kau perdengarkan Sungguh buatku tak henti jua menyimpul senyuman Egokah aku, bila kurenggut seluruh syair itu? Seluruh syair yang termuat dalam bingkai katamu Seluruhnya yang mengisahkan dirimu Memang, yang kulihat hanya semu Tak kuketahui jati dirimu Seluruhnya tentang mu hanya tergambar dari jerih payahku meraba dan mengeja syairmu

Dunia Jungkir Balik

Benar atau salah Apa ia benar dan aku salah? Ataukah ia salah dan aku benar? Ya Tuhan... Aku sama sekali tak dapat mengenali diriku sendiri Peradaban makin maju, namun nilai-nilai dan norma-norma telah jungkir balik Seperti membandingkan gula dan garam Kau takkan tahu bedanya bila belum dirasa Namun apa jadinya bila lidahku kehilangan perasanya? Mungkin kopisusu ku jadi asin dan tempe goreng ku jadi manis Dan begitulah dunia yang sedang berlangsung Mencari kebenaran,

Aku Jemu Burung Kata

Matahari jelas diubun-ubun Keringat telah basahi ketiak Kerongkongan kering tak berpelumas Bahkan ludah ku hampir habis kutelan Perut ikut-ikutan, berdemo menuntut haknya Orang didepan berceloteh ria tak perduli Ia asyik menerbangkan burung-burung kata Burung itu beterbangan memenuhi ruang Hinggap di kepala Mematuk telinga kiri dan kanan

Tanah Berlumpur Darah

S egenggam tanah diperebutkan Nafsu mereka membara membabi buta Bala tentara mereka kirimkan Hingga darah jadi korban Mereka memeluk besi Menciptakan api dirumah-rumah kami Merobek keheningan malam yang menaungi Kami menjerit, kami menangis tapi tak berarti

Enyahlah, Matahariku ( Part 2)

Matahari yang slalu ingin ku enyahkan Kini benar ia pergi Setelah bahuku menjadi tempat peraduannya Setelah aku basah kuyup dihujani air matanya Setelah aku mulai menikmati dunia nya yang gelap dan suram Setelah ia tercatat di rentetan sejarah hidupku Seolah ia merampas segalanya Memilih menjadi bagian yang hilang, Menjadi bagian yang terlupakan dari sejarah Dan terbit di negeri nan   jauh disana Apa mau dikata? Itu telah menjadi pilihan impiannya Haruskah aku menengadah ke langit

Enyahlah, matahariku (Part 1)

Saat matahari gila muncul diduniaku Aku berusaha menepis Namun ia tak jua pergi Ia datang karna tak ada tempat lain untuk terbit Matahari yang malang Dengan berbagai macam alasan ia terus menempel, melekat Disampingku ia duduk termangu Sebentar ia menunduk menangis terisak-isak Ia bilang ia lara Sebentar pula senyumnya mengembang, senyum kelabu Ia bilang dirinya hilang sukma Seolah tak punya lagi harga diri, ia menautkan tangan dan bersandar dibahuku

Cinta Diujung Jendela

Dalam anganku tersirat bayangmu Aku ingat ketika aku menatapmu Aku merasa derita dalam sukmaku Hati ini menginginkanmu Tapi puncak kesadaran mengguncangku Menampar setiap urat nadiku Menghinakan aku “wanita kotor, pantaskah kau disandingnya?” Sempat aku menangis Tetapi sukma menegakkan ruas Aku diam, berpikir sejenak “Tidak. Dia yang tak pantas bersanding denganku.” Lalu ia bungkam